Kota Pekalongan – Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Pekalongan Drs H Akhmad Mundakir, M.Si menghadiri acara Seminar Nasional dalam rangka peringatan hari santri Pekalongan 2019 dengan tema tantangan pesantren pasca uu pesantren di Ponpes Moderen Alquran Buaran, Kamis (24/10).
Pengurus DPP PKB KH Maman Imanul Haq selaku narasumber mendorong para pengurus Rabithah Ma'ahid Islamiyah atau para santri di Kota Pekalongan untuk menyusun buku tentang pesantren.
“Kita ini lemah dalam hal referensi. Maka saya mendorong para santri di Kota Pekalongan dan para pengurus RMI untuk menyusun buku tentang pesantren di Kota Pekalongan baik dari sisi sejarah, dan gagasan para kiainya. Dengan begitu dunia pesantren di Pekalongan bisa terekam dengan baik,” kata Maman.
Tak hanya mendorong para pengurus RMI menyusun buku tentang pesantren, KH Maman Imanul Haq yang kerap muncul di televisi dalam acara debat, juga meminta para santri merekam pengajian dari kiai-kiai dan nyai-nyai di pesantren, kemudian bisa diunggah di media sosial.
Pada kesempatan itu, pengasuh Ponpes Al-Mizan Sumedang ini, juga memaparkan mengenai sejarah singkat dan lika-liku perjuangan menyusun RUU Pesantren hingga disahkan menjadi undang-undang. Langkah selanjutnya, kata dia, setelah UU pesantren disahkan adalah mengawal implementasi hingga akar rumput.
Narasumber lainnya pada seminar itu, Anggota DPR RI Bisri Romly menyampaikan, dengan disahkan UU pesantren, meniscayakan Ponpes mendapatkan intervensi anggaran dari pemerintah. Sebab, kata dia, pada sebuah kesempatan pihaknya sempat berdiskusi dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Dalam diskusi itu, ia bertanya kepada Menteri Keuangan mengapa dalam anggaran transfer daerah tidak ada untuk ke pondok pesantren.
Pertanyaan tersebut, kemudian dijawab oleh sang menteri keuangan. Mengapa dalam dana transfer daerah tidak ada untuk ke pesantren. Lantaran terdapat peraturan perundang-undangan bahwa beberapa urusan bukan menjadi kewenangan pemerintah daerah. Salah satunya adalah persoalan keagamaan.
Maka, dengan disahkan UU pesantren ini, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah bisa mengalokasikan anggaran untuk pondok pesantren sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dengan begitu pesantren yang merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia memiliki hak yang sama dengan lembaga pendidikan formal yang ada saat ini.
“Di pondok pesantren santri belajar bisa capai enam sampai delapan tahun. Tapi ijazahnya tidak diakui. Dan tidak bisa dijadikan syarat untuk pencalonan kepala desa. Masalah-masalah seperti ini yang kita perjuangkan,” tandas Bisri.
Rektor IAIN Pekalongan, Dr Ade Dede Rohayana pada kesempatan menjadi nara sumber dalam acara itu menyampaikan, setelah uu pesantren disahkan. Namun beberapa peraturan masih belum dikeluarkan mulai dari peraturan pemerintah, peraturan kementerian yang mengatur teknis UU ini.
“Tantangan bagi pondok pesantren setelah UU Pesantren disahkan adalah. Apakah Ponpes mau berubah atau tidak. Sebab bisa dipastikan nanti akan ada standarisasi Ponpes mulai dari sarana prasarana, pengajarnya dan lainnya,” kata Ade.
“Jangan sampai UU Pesantren ini pada implementasi mengganggu persyaratan apa yang disebut pesantren yang nanti akan diterbitkan. Lalu dari pesantren apa yang harus dirubah, pertama SDMnya, proses pembelajarannya,” sambung Ade.
Hadir dalam seminar tersebut, Wali Kota Pekalongan, Saelany Machfudz, Wakil Ketua DPRD Kota Pekalongan, Nusron Hasan, Ketua FKUB Kota Pekalongan, KH Akhmad Marzuqi, PCNU Kota Pekalongan, Muhtarom dan para tamu undangan lainnya.